Pengertian dan Pentingnya Kesetiakawanan Sosial
Kesetiakawanan Sosial atau rasa solidaritas sosial merupakan potensi spritual, komitmen bersama sekaligus jati diri bangsa oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan Nurani bangsa Indonesia yang tereplikasi dari sikap dan perilaku yang dilandasi oleh pengertian, kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi sosial sesuai dengan kemampuan dari masing-masing warga masyarakat dengan semangat kebersamaan, kerelaan untuk berkorban demi sesama, kegotongroyongan dalam kebersamaan dan kekeluargaan.
Kesetiakawanan Sosial merupakan bagian dari nilai, sikap dan perilaku pro sosial yang berakar dalam konteks tata budaya nusantara dan masyarakat majemuk Indonesia berdasarkan Pancasila. Nilai dasar ini mengandung spektrum kesantunan serta kepedulian sosial yang mendasar dan kontekstual.
Dilandasi pengertian, kesadaran dan tanggung jawab sosial seluruh komponen masyarakat, bangsa dan negara dalam kerangka mengekspresikan kebudayaan Pancasila.
Dalam konteks itu, nilai kesetiakawanan sosial sebagai dimensi modal sosial memiliki posisi strategis untuk menumbuh kembangkan semangat kebersamaan, saling percaya dan menerima, integrasi dan ikatan sosial, yang dinyatakan melalui kerelaan, proaktif, serta kepedulian untuk berkorban bersama warga masyarakat yang membutuhkan dalam kerangka mewujudkan Indonesia Sejahtera berbudaya Pancasila.
Artinya, kesetiakawanan sosial hakekatnya suatu kemauan untuk bersatu dalam solidaritas sosial, kesamaan nasib, dan keinginan menjadi makluk sosial yang saling peduli dan berbagi dalam membangun persaudaraan sejati, persaudaraan masyarakat majemuk Indonesia berbudaya Pancasila. Kepentingan pribadi diletakkan dalam kerangka kesadaran atas kewajiban sebagai makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Seiring dengan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di era reformasi dan globalisasi, maka kesetiakawanan sosial tengah mengalami pergeseran mendasar dan paradigmatik.
Nilai-nilai kesetiakawanan sosial sebagai modal sosial strategis budaya Pancasila, kini mengalami proses destruksi sistematis dan kian kritis selang beberapa dekade terakhir, di era reformasi, otonomi daerah dan globalisasi dewasa ini.
Kondisi faktual tersebut nampak antara lain berbentuk:
a) kesetiakawanan sosial, yang sering menampakan wajah secara terbatas di ruang politik, namun dengan semangat membela kepentingan masing-masing golongan.
b) menguatnya kesetiakawanan sosial berwajah kedaerahan yang mewujud dalam komunalisme dan tribalisme.
c) di bidang ekonomi, nilai kesetiakawanan sosial belum sepenuhnya menjadi kesadaran nasional, baik di level struktural, institusional, maupun personal. Menguatnya kesenjangan ekonomi dan sosial merupakan indikator melemahnya kesetiakawanan sosial, yang kemudian menjadi alir deras munculnya berbagai masalah kesejahteraan sosial.
d) selain itu revolusi globalisme ditengarai tengah menetrasi berbagai modal sosial lokal, ditandai dengan sejumlah gejala antara lain menguatnya semangat individualis, kian memudarnya semangat kebersamaan, mencuatnya identitas komunal dan kedaerahan, melemahnya semangat kebangsaan dan nasionalisme serta makin memudarnya modal sosial masyarakat yang dilandasi oleh saling percaya, komitmen bersama, kesepakatan bersama dan aturan main dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Bahkan dalam beberapa hal, terjadi kanibal sosial (social cannibalism), yaitu sifat saling menghancurkan, saling membunuh karakter dan berujung pada saling mematikan.
Destruksi kesetiawakanan sosial, nyaris melahirkan pergulatan pemaknaan di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara saat ini.
Memudarnya perasaan empati, kepedulian sosial dan saling berbagi sebagai ekspresi kesetiakawanan sosial menjadi kepentingan individualis dan kelompok secara eksklusif dengan memarginalkan kepentingan sosial, telah mendongkrak sistem perilaku sosial pro-sosial dan altruistik bergeser kearah sistem perilaku prokelompok eksklusif dan individualis di lingkungan masyarakat.
Kohesi sosial makin bergeser menjadi kohesi kelompok berdasarkan kepentingan dan kesadaran kelompok.
Makin jauhnya nilai keadilan sosial, maraknya konflik berbasis suku, ras dan agama (SARA), kesenjangan ekonomi serta berbagai masalah sosial lainnya menunjukkan bahwa refleksi terhadap landasan kesetiakawanan sosial berbudaya Pancasila, kian menjadi isu nasional yang sangat serius, mendasar, kontekstual dan strategis.
Pada sisi lain, kesenjangan sosial yang makin terstruktur dan membudaya, nampak secara jelas, jika dilihat dari angka jumlah penduduk miskin yang terus meningkat.
Sebagai konsekuensi belum nampaknya penurunan signifikan angka penduduk miskin selama ini, maupun meningkatnya angka penduduk miskin sebagai dampak berbagai eskalasi dan frekuensi bencana alam dan sosial di berbagai daerah dewasa ini.
Kesenjangan distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, antar daerah perkotaan dan daerah pedesaan serta tertinggal, karena ketimpangan penguasaan asset serta akses pengelolaan sumber alam dan ekonomi dalam berbagai bentuk, makin menjadikan jurang kesenjangan sosial ekonomi, kian kentara terang benderang, baik secara vertikal, maupun horisontal.
Oleh sebab itu, secara strategis-konstitusional, menjadi penting kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial yang telah meletakkan kedudukan dan fungsi konsepsi dan nilai Kesetiakawanan Sosial sebagai kerangka dasar dan mandat konstitusional dalam pengelolaan kesejahteraan sosial di Indonesia.
Nilai strategis-konstitusional Kesetiakawanan Sosial dalam konstruk budaya Pancasila itu, akan terus digali, dikembangkan dan didayagunakan berbasis pada kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakat majemuk Indonesia dalam mewujudkan cita-cita luhur Indonesia merdeka yang adil dan sejahtera.
Sebagai mandat strategis-konstitusional kesejahteraan sosial, kesetiakawanan sosial perlu terus direvitalisasi dan direlevansikan sesuai dengan kondisi aktual masyarakat, bangsa dan negara serta diimplementasikan dalam wujud nyata melalui dinamika kehidupan masyarakat, bangsa dan negara di tengah panggilan era reformasi, otonomi daerah dan globalisasi dengan segala konsekuensinya.
Belajar dari sejumlah fakta kondisi keprihatinan sosial sebagaimana diuraikan di atas, maka mewujudkan kesetiakawanan sosial sebagai modal sosial masyarakat, bangsa dan negara melalui suatu gerakan nasional, menjadi keharusan, baik sebagai mandat strategis-konstitusional maupun mandat budaya dan kearifan lokal seluruh masyarakat, bangsa, negara majemuk nusantara, tanpa kecuali.
Dalam konteks dwi-mandat konstitusional dan kultural strategis itulah, sudah sepantasnya, seluruh masyarakat, bangsa dan negara Indonesia memiliki “grand national solidarity”, berupa agenda nasional untuk mewujudkan solidaritas kesetiakawanan sosial nasional menuju Indonesia Sejahtera, sebagai kerangka acuan dalam rangka penyusunan “grand national reality”. Grand national solidarity adalah suatu upaya sengaja, terpola, sistematis, dan berkelanjutan dalam rangka pembudayaan semangat solidaritas dan kesetiakawanan sosial nasional membangun bangsa, yang didasarkan atas spirit, visi, tekad, dan komitmen yang diajarkan dan diwariskan founding fathers negara Indonesia merdeka.
Sedangkan grand national reality, berkaitan dengan upaya bersama mengimplementasi Grand National Solidarity ke konteks masa kini dinamika reformasi, otonomi daerah dan globalisasi dengan segala dampak destruktifnya terhadap kesetiakawanan dan kesejahteraan sosial nasional, sehingga pilihan strategi implementasi seharusnya sensitif dan responsif terhadap dinamika kebutuhan kontekstual dan kontemporer masa kini.
Pengkondisian manajemen perubahan akan ditempuh melalui tahapan-tahapan strategis :
a) proteksi dan konsolidasi sosial,
b) pemberdayaan sosial sistemik, dan
c) budaya pembangunan kesetiakawanan dan kesejahteraan sosial berkelanjutan, sebagai iklim kondusif transformasi secara struktural, fungsional dan kultural yang dilakukan secara terencana, terpola, sistematis, terarah, dan berkelanjutan melalui Gerakan Bulan Bhakti Kesetiakawanan Sosial secara nasional.
Suatu gerakan transformasi nasional kesetiakawanan dan kesejahteraan sosial mencakup wilayah pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan secara holistik dan integratif, dengan mengoptimalkan peran seluruh pilar modal sosial masyarakat, bangsa dan negara: jajaran Pemerintah/Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Dunia Usaha, TNI dan Polri, berbagai elemen masyarakat, dan sebagainya.
Kesetiakawanan Sosial merupakan bagian dari nilai, sikap dan perilaku pro sosial yang berakar dalam konteks tata budaya nusantara dan masyarakat majemuk Indonesia berdasarkan Pancasila. Nilai dasar ini mengandung spektrum kesantunan serta kepedulian sosial yang mendasar dan kontekstual.
Dilandasi pengertian, kesadaran dan tanggung jawab sosial seluruh komponen masyarakat, bangsa dan negara dalam kerangka mengekspresikan kebudayaan Pancasila.
Dalam konteks itu, nilai kesetiakawanan sosial sebagai dimensi modal sosial memiliki posisi strategis untuk menumbuh kembangkan semangat kebersamaan, saling percaya dan menerima, integrasi dan ikatan sosial, yang dinyatakan melalui kerelaan, proaktif, serta kepedulian untuk berkorban bersama warga masyarakat yang membutuhkan dalam kerangka mewujudkan Indonesia Sejahtera berbudaya Pancasila.
Artinya, kesetiakawanan sosial hakekatnya suatu kemauan untuk bersatu dalam solidaritas sosial, kesamaan nasib, dan keinginan menjadi makluk sosial yang saling peduli dan berbagi dalam membangun persaudaraan sejati, persaudaraan masyarakat majemuk Indonesia berbudaya Pancasila. Kepentingan pribadi diletakkan dalam kerangka kesadaran atas kewajiban sebagai makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kesetiakawanan Sosial
Nilai-nilai kesetiakawanan sosial sebagai modal sosial strategis budaya Pancasila, kini mengalami proses destruksi sistematis dan kian kritis selang beberapa dekade terakhir, di era reformasi, otonomi daerah dan globalisasi dewasa ini.
Kondisi faktual tersebut nampak antara lain berbentuk:
a) kesetiakawanan sosial, yang sering menampakan wajah secara terbatas di ruang politik, namun dengan semangat membela kepentingan masing-masing golongan.
b) menguatnya kesetiakawanan sosial berwajah kedaerahan yang mewujud dalam komunalisme dan tribalisme.
c) di bidang ekonomi, nilai kesetiakawanan sosial belum sepenuhnya menjadi kesadaran nasional, baik di level struktural, institusional, maupun personal. Menguatnya kesenjangan ekonomi dan sosial merupakan indikator melemahnya kesetiakawanan sosial, yang kemudian menjadi alir deras munculnya berbagai masalah kesejahteraan sosial.
d) selain itu revolusi globalisme ditengarai tengah menetrasi berbagai modal sosial lokal, ditandai dengan sejumlah gejala antara lain menguatnya semangat individualis, kian memudarnya semangat kebersamaan, mencuatnya identitas komunal dan kedaerahan, melemahnya semangat kebangsaan dan nasionalisme serta makin memudarnya modal sosial masyarakat yang dilandasi oleh saling percaya, komitmen bersama, kesepakatan bersama dan aturan main dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Bahkan dalam beberapa hal, terjadi kanibal sosial (social cannibalism), yaitu sifat saling menghancurkan, saling membunuh karakter dan berujung pada saling mematikan.
Destruksi kesetiawakanan sosial, nyaris melahirkan pergulatan pemaknaan di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara saat ini.
Memudarnya perasaan empati, kepedulian sosial dan saling berbagi sebagai ekspresi kesetiakawanan sosial menjadi kepentingan individualis dan kelompok secara eksklusif dengan memarginalkan kepentingan sosial, telah mendongkrak sistem perilaku sosial pro-sosial dan altruistik bergeser kearah sistem perilaku prokelompok eksklusif dan individualis di lingkungan masyarakat.
Kohesi sosial makin bergeser menjadi kohesi kelompok berdasarkan kepentingan dan kesadaran kelompok.
Makin jauhnya nilai keadilan sosial, maraknya konflik berbasis suku, ras dan agama (SARA), kesenjangan ekonomi serta berbagai masalah sosial lainnya menunjukkan bahwa refleksi terhadap landasan kesetiakawanan sosial berbudaya Pancasila, kian menjadi isu nasional yang sangat serius, mendasar, kontekstual dan strategis.
Pada sisi lain, kesenjangan sosial yang makin terstruktur dan membudaya, nampak secara jelas, jika dilihat dari angka jumlah penduduk miskin yang terus meningkat.
Sebagai konsekuensi belum nampaknya penurunan signifikan angka penduduk miskin selama ini, maupun meningkatnya angka penduduk miskin sebagai dampak berbagai eskalasi dan frekuensi bencana alam dan sosial di berbagai daerah dewasa ini.
Kesenjangan distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, antar daerah perkotaan dan daerah pedesaan serta tertinggal, karena ketimpangan penguasaan asset serta akses pengelolaan sumber alam dan ekonomi dalam berbagai bentuk, makin menjadikan jurang kesenjangan sosial ekonomi, kian kentara terang benderang, baik secara vertikal, maupun horisontal.
Oleh sebab itu, secara strategis-konstitusional, menjadi penting kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial yang telah meletakkan kedudukan dan fungsi konsepsi dan nilai Kesetiakawanan Sosial sebagai kerangka dasar dan mandat konstitusional dalam pengelolaan kesejahteraan sosial di Indonesia.
Nilai strategis-konstitusional Kesetiakawanan Sosial dalam konstruk budaya Pancasila itu, akan terus digali, dikembangkan dan didayagunakan berbasis pada kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakat majemuk Indonesia dalam mewujudkan cita-cita luhur Indonesia merdeka yang adil dan sejahtera.
Sebagai mandat strategis-konstitusional kesejahteraan sosial, kesetiakawanan sosial perlu terus direvitalisasi dan direlevansikan sesuai dengan kondisi aktual masyarakat, bangsa dan negara serta diimplementasikan dalam wujud nyata melalui dinamika kehidupan masyarakat, bangsa dan negara di tengah panggilan era reformasi, otonomi daerah dan globalisasi dengan segala konsekuensinya.
Belajar dari sejumlah fakta kondisi keprihatinan sosial sebagaimana diuraikan di atas, maka mewujudkan kesetiakawanan sosial sebagai modal sosial masyarakat, bangsa dan negara melalui suatu gerakan nasional, menjadi keharusan, baik sebagai mandat strategis-konstitusional maupun mandat budaya dan kearifan lokal seluruh masyarakat, bangsa, negara majemuk nusantara, tanpa kecuali.
Dalam konteks dwi-mandat konstitusional dan kultural strategis itulah, sudah sepantasnya, seluruh masyarakat, bangsa dan negara Indonesia memiliki “grand national solidarity”, berupa agenda nasional untuk mewujudkan solidaritas kesetiakawanan sosial nasional menuju Indonesia Sejahtera, sebagai kerangka acuan dalam rangka penyusunan “grand national reality”. Grand national solidarity adalah suatu upaya sengaja, terpola, sistematis, dan berkelanjutan dalam rangka pembudayaan semangat solidaritas dan kesetiakawanan sosial nasional membangun bangsa, yang didasarkan atas spirit, visi, tekad, dan komitmen yang diajarkan dan diwariskan founding fathers negara Indonesia merdeka.
Sedangkan grand national reality, berkaitan dengan upaya bersama mengimplementasi Grand National Solidarity ke konteks masa kini dinamika reformasi, otonomi daerah dan globalisasi dengan segala dampak destruktifnya terhadap kesetiakawanan dan kesejahteraan sosial nasional, sehingga pilihan strategi implementasi seharusnya sensitif dan responsif terhadap dinamika kebutuhan kontekstual dan kontemporer masa kini.
Pengkondisian manajemen perubahan akan ditempuh melalui tahapan-tahapan strategis :
a) proteksi dan konsolidasi sosial,
b) pemberdayaan sosial sistemik, dan
c) budaya pembangunan kesetiakawanan dan kesejahteraan sosial berkelanjutan, sebagai iklim kondusif transformasi secara struktural, fungsional dan kultural yang dilakukan secara terencana, terpola, sistematis, terarah, dan berkelanjutan melalui Gerakan Bulan Bhakti Kesetiakawanan Sosial secara nasional.
Suatu gerakan transformasi nasional kesetiakawanan dan kesejahteraan sosial mencakup wilayah pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan secara holistik dan integratif, dengan mengoptimalkan peran seluruh pilar modal sosial masyarakat, bangsa dan negara: jajaran Pemerintah/Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Dunia Usaha, TNI dan Polri, berbagai elemen masyarakat, dan sebagainya.